Kamis, 13 Maret 2008

Asal-usul Penindasan Perempuan

Asal-usul Penindasan Perempuan

Perempuan berderajat lebih rendah daripada laki-laki - inilah anggapan umum yang berlaku sekarang ini tentang kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat. Anggapan ini tercermin dalam prasangka-prasangka umum, seperti "seorang istri harus melayani suami", "perempuan itu turut ke surga atau ke neraka bersama suaminya", dll. Prasangka-prasangka ini mendapat penguatan dari struktur moral masyarakat yang terwujud dalam peraturan-peraturan agama dan adat. Lagipula, sepanjang ingatan kita, bahkan nenek-moyang kita, keadaannya memang sudah begini.

Tapi anggapan ini adalah anggapan yang keliru. Para ahli antropologi sudah menemukan bahwa keadaannya tidaklah selalu demikian.

Dalam masyarakat Indian Iroquis, misalnya, kedudukan perempuan dan laki-laki benar-benar setara. Bahkan, semua laki-laki dan perempuan dewasa otomatis menjadi anggota dari Dewan Suku, yang berhak memilih dan mencopot ketua suku. Jabatan ketua suku dalam masyarakat Indian Iroquis tidaklah diwariskan, melainkan merupakan penunjukan dari warga suku melalui sebuah pemilihan langsung yang melibatkan semua laki-laki dan perempuan secara setara. Keadaan ini berlangsung sampai jauh ke abad ke 19.

Dalam masyarakat Jermania, ketika mereka masih mengembara di luar perbatasan dengan Romawi, berlaku juga keadaan yang sama. Kaum perempuan mereka memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan kaum laki-lakinya. Peran yang mereka ambil dalam pengambilan keputusanpun setara karena setiap perempuan dewasa adalah juga anggota dari Dewan Suku.

Demikian pula yang berlaku di tengah suku-suku Schytia dari Asia Tengah. Di tengah mereka, bahkan perempuan dapat diangkat menjadi prajurit dan pemimpin perang.

Namun jika kita cermati lebih lanjut, masyarakat-masyarakat di mana kedudukan perempuan dan laki-laki benar-benar setara ini adalah masyarakat nomaden, yang mengandalkan perburuan dan pengumpulan bahan makanan sebagai sumber penghidupan utama mereka. Suku-suku Indian Iroquis sudah mulai bertanam jagung, namun masih dalam bentuk sangat sederhana. Demikian pula yang berlaku di tengah masyarakat Jermania dan Schytia. Pertanian, bagi mereka, hanyalah pengisi waktu ketika hewan-hewan buruan mereka sedang menetap di satu tempat. Data-data arkeologi bahkan menunjukkan bahwa pertanian primitif ini hanya dikerjakan oleh kaum perempuan sebagai pengisi waktu senggang, dan tidak dianggap sebagai satu hal yang terlalu penting untuk dapat dikerjakan oleh seluruh suku secara bersama-sama.

Namun, ketika berbagai masyarakat manusia menggeser prikehidupannya ke arah masyarakat pertanian, seluruh struktur masyarakatpun berubah. Termasuk di antaranya hubungan antara laki-laki dan perempuan.

Pertanian dan Bangkitnya Patriarki

Berlawanan dengan pandangan umum tentang bangkitnya masyarakat pertanian, umat manusia tidaklah dengan sukarela memeluk pertanian sebagai cara hidup. Biasanya, orang beranggapan bahwa manusia mulai bertani ketika mereka menemukan daerah-daerah subur yang cocok untuk bertani. Namun, data-data arkeologi dan antropologi menunjukkan bahwa manusia mulai bertani ketika mereka terdesak oleh perubahan kondisi alam, di mana kondisi yang baru tidak lagi memberi mereka kemungkinan untuk bertahan hidup hanya dari berburu dan mengumpul bahan makanan.

Peradaban pertanian yang pertama kali muncul adalah peradaban Sumeria dan Mesir. Keduanya lahir dari terdesaknya suku-suku manusia yang mengembara di dataran padang rumput yang kini dikenal sebagai Afrasia. Padang rumput kuno yang kini sudah musnah ini membentang dari daerah pegunungan Afrika Timur melalui Arabia sampai pegunungan Ural di Asia Tengah. Sekitar 8.000 - 11.000 tahun yang lalu, ketika Jaman Es terakhir telah berakhir, padang rumput ini mengalami ketandusan akibat perubahan iklim. Ketandusan ini berawal dari daerah Arabia dan meluas ke utara dan selatan. Bersamaan dengan mengeringnya padang rumput ini, hewan-hewan buruan akan berpindah mencari tempat yang masih subur. Para pemburu dan pengumpul yang mengikuti hewan buruan ke utara akhirnya bertemu dengan lembah sungai Efrat dan Tigris, sementara yang ke selatan bertemu dengan lembah sungai Nil. Pada masa itu, sebuah lembah sungai merupakan medan yang tak tertembus oleh manusia, contoh modern dari lembah-lembah sungai yang masih perawan seperti ini dapat kita lihat di Papua. Karena terjepit antara dua keadaan yang berbahaya bagi kelangsungan hidup mereka, kelompok-kelompok pemburu dan pengumpul ini akhirnya memutuskan untuk bergerak memasuki lembah-lembah sungai ini dan berusaha menaklukkannya - setidaknya, di lembah-lembah sungai ini masih tersedia air.

Proses penaklukan ini pasti berjalan dengan amat beratnya karena peralatan yang mereka miliki, pada awalnya, hanyalah peralatan untuk berburu. Kini mereka harus menciptakan improvisasi bagi alat-alat mereka supaya dapat digunakan untuk membersihkan lahan. Karena peralatan mereka yang primitif itu, proses pembukaan lahan ini dapat berlangsung beratus tahun lamanya. Sementara jarang ada binatang buruan yang akan mengikuti mereka memasuki lembah-lembah sungai itu. Mereka dihadapkan pada keharusan untuk menemukan sumber makanan lain.

Dan di saat inilah, menurut data arkeologi, kaum perempuan muncul sebagai juru selamat. Mereka menggunakan ketrampilan mereka untuk mengolah biji-bijian menjadi tanaman untuk mendapatkan bahan makanan bagi seluruh komunitas. Apa yang tadinya hanya pengisi waktu senggang kini menjadi sumber penghidupan utama seluruh masyarakat.

Keharusan manusia untuk menemukan cara-cara baru untuk mempertahankan hidupnya membuat perkembangan teknologi berlangsung dengan pesat di tengah masyarakat pertanian, jika dibandingkan dengan perkembangan teknologi dalam masa-masa sebelumnya. Dengan perkembangan teknologi ini, apa yang tadinya hanya dapat dikerjakan bersama-sama (komunal) kini dapat dikerjakan secara sendirian (individual). Proses untuk menghasilkan sumber penghidupan kini berangsur-angsur berubah dari proses komunal menjadi proses individual.

Dan, hal yang paling wajar ketika pekerjaan sudah dilakukan secara individual adalah bahwa hasilnya kemudian menjadi milik individu (perorangan). Pertanian memperkenalkan kepemilikan pribadi pada umat manusia.

Di samping itu, pertanian sesungguhnya menghasilkan lebih banyak daripada berburu dan mengumpul. Tiap kali panen, manusia menghasilkan jauh lebih banyak daripada yang dapat dihabiskannya. Dengan kata lain, pertanian memperkenalkan hasil lebih pada pri-kehidupan manusia.

Namun, hasil lebih ini tidaklah muncul secara kontinyu, melainkan dalam paket-paket. Sekali panen, mereka mendapat hasil banyak, namun hasil itu harus dijaga agar cukup sampai panen berikutnya. Hal ini menumbuhkan keharusan untuk menjaga dan membagi hasil lebih ini. Melalui proses ratusan tahun, kedua keharusan ini menumbuhkan tentara dan birokrasi. Dengan kata lain, pertanian memperkenalkan Negara pada pri-kehidupan manusia.

Sekalipun berlangsung berangsur-angsur selama ratusan tahun, pada satu titik, perubahan-perubahan kecil ini menghasilkan lompatan besar pada pri-kehidupan manusia. Terlebih lagi setelah pertanian diperkenalkan, baik melalui penaklukan atau melalui proses inkulturasi, pada peradaban-peradaban lain di seluruh dunia.

Dan salah satu perubahan penting ini terjadi pada pembagian peran antara laki-laki dan perempuan.

Pertama, pertanian pada awalnya membutuhkan banyak tenaga untuk membuka lahan karena tingkat teknologi yang rendah. Hanya dari proses ekstensifikasi (perluasan lahan)-lah pertambahan hasil dapat diperoleh. Oleh karena itu, proses reproduksi manusia menjadi salah satu proses yang penting untuk mendapatkan sebanyak mungkin tenaga pengolah lahan pertanian. Aktivitas seksual, yang tidak pernah dianggap penting, bahkan dianggap beban, di tengah masyarakat berburu dan mengumpul, kini menjadi satu aktivitas yang penting. Dewi Kesuburan merupakan salah satu dewi terpenting di tengah masyarakat pertanian, bukan hanya berkenaan dengan kesuburan tanah melainkan juga tingkat kesuburan reproduksi perempuan.

Dan sebagai akibat logis dari keadaan ini kaum perempuan semakin tersingkir dari proses produktif di tengah masyarakat. Waktunya semakin lama semakin terserap ke dalam kegiatan-kegiatan reproduktif.

Kedua, teknologi pertanian yang maju semakin pesat ini ternyata malah membuat aktivitas produksi di sektor pertanian menjadi semakin tertutup buat perempuan. Penemuan arkeologi menunjukkan bahwa ditemukannya bajak (luku) telah menggusur kaum perempuan dari lapangan ekonomi. Bajak merupakan alat pertanian yang berat, yang tidak mungkin dikendalikan oleh perempuan. Terlebih lagi bajak biasanya ditarik dengan menggunakan tenaga hewan ternak, di mana pengendalian terhadap ternak memang merupakan wilayah ketrampilan kaum laki-laki. Intrusi (mendesak masuknya) peternakan ke dalam pertanian telah membuat ruang bagi kaum perempuan, yang keahliannya hanya dalam bidang pertanian, semakin tertutup.

Karena perempuan semakin tidak mampu bergiat dalam lapangan produksi, maka iapun semakin tergeser ke pekerjaan-pekerjaan domestik (rumah tangga). Dan ketika perempuan telah semakin terdesak ke lapangan domestik inilah patriarki mulai menampakkan batang hidungnya di muka bumi.

Kepemilikan Pribadi dan Patriarki

Tergesernya kaum perempuan dari lapangan produktif ini terjadi dalam konteks berkembangnya kepemilikan pribadi.

Dengan semakin bergesernya proses produksi menjadi sebuah proses perorangan, maka unit pengaturan masyarakat pun berubah. Jika tadinya unit pengaturan masyarakat yang terkecil adalah suku maka kini muncullah sebuah lembaga baru, yakni keluarga.

Hampir di tiap masyarakat yang terhitung primitif konsep tentang keluarga tidak dikenal. Penelitian arkeologis telah menemukan berbagai bentuk sistem reproduksi masyarakat komunal seperti ini. Seperti nyata di tengah masyarakat Zulu, di Afrika, di mana tiap waktu tertentu diadakan satu upacara di mana kaum perempuan memilih pasangannya untuk jangka waktu sampai upacara berikutnya diadakan. Suku-suku Afrika yang lain, semacam orang-orang Bush, menganut sistem di mana seorang perempuan adalah istri dari semua laki-laki yang ada di suku tersebut, sementara seorang laki-laki adalah suami dari semua perempuan di sukunya. Suku-suku aborigin Australia menganut sistem silang-suku, di mana mereka mengenal suku-saudara. Seorang perempuan aborigin adalah istri dari semua laki-laki dalam suku-saudara mereka, demikian sebaliknya yang terjadi dengan tiap laki-laki dalam suku tersebut.

Oleh karena pola reproduksi yang komunal semacam ini, garis keturunan seseoang hanya dapat dilihat dari siapa ibunya. Dari sinilah sebab mengapa dalam masyarakat primitif hanya dikenal garis matrilineal. Ini nampak nyata dalam asal-usul kata "gen" atau "genetik" itu sendiri, yang berasal dari kata kuno bangsa Arya gan atau kan yang artinya "kelahiran" atau "kehamilan". Jadi, "keturunan" merupakan satu bentuk yang sangat bernuansa perempuan pada awalnya.

Namun demikian, garis matrilineal ini tidaklah berarti apa-apa selain penentu apakah seseorang dapat digolongkan sebagai "orang kita" atau bukan. Dalam makna yang lebih luas, apakah ia setelah dewasa akan dapat memperoleh tempat dalam Dewan Suku dan ikut mengambil keputusan-keputusan penting. Jadi, pada masa itu tidaklah dikenal Matriarki. Perempuan dan laki-laki benar-benar setara kedudukannya di tengah masyarakat.

Namun, pertanian mengubah semua itu.

Di atas kita telah melihat bahwa peranan perempuan perlahan-lahan tergusur dari lapangan produktif ke lapangan domestik. Pada awalnya ini adalah satu proses yang diterima baik oleh kaum perempuan karena pembagian kerja seperti ini dapat secepatnya meningkatkan hasil yang dapat diperoleh dari lapangan produksi itu sendiri. Dengan sukarela kaum perempuan menyerahkan tempatnya di lapangan produksi demi satu pembagian tugas yang akan meningkatkan hasil produksi setinggi-tingginya.

Yang tidak dapat dilihat oleh kaum perempuan masa itu adalah peranan kepemilikan pribadi dalam menempa sebuah sistem masyarakat.

Dalam hal ini, karena proses produksi telah menjadi sebuah proses perorangan, maka alat-alat produksi juga menjadi milik perorangan. Sistem kepemilikan suku atas alat-alat produksi semakin lama semakin pudar. Dan bersamaan dengan itu, kepemilikan atas hasil produksi juga berubah dari kepemilikan bersama menjadi kepemilikan perorangan.

Dan karena perempuan telah menyerahkan tempat mereka dalam lapangan produksi kepada laki-laki, maka kepemilikan atas alat-alat produksi itu kemudian juga jatuh kepada laki-laki. Dan karena kepemilikan atas alat produksi itu jatuh pada laki-laki, kepemilikan atas hasil produksinya juga jatuh ke tangan laki-laki.

Berikutnya, ketika kita bicara tentang bagaimana menjaga dan mengatur pembagian hasil produksi ini, siapakah yang berhak mengambil keputusan? Tentunya, karena merekalah yang bergiat di lapangan produksi, hak inipun jatuh pada laki-laki.

Ketika hak untuk mengambil keputusan dalam masyarakat telah secara eksklusif dipegang oleh kaum laki-laki, bangkitlah patriarki.

Perlahan-lahan, setelah proses ini berlangsung ratusan tahun, orangpun melupakan asal-usul pergeseran ini dan hak waris dari garis laki-laki kemudian terlembagakan. Demikian pula seluruh sistem nilai dalam masyarakat yang semula menjunjung tinggi kesamaan antara laki-laki dan perempuan kini tergeser dan tergantikan oleh sistem nilai di mana laki-laki berkuasa atas perempuan.

Salah satunya nampak dalam sistem kepercayaan, yang merupakan salah satu sistem nilai yang paling tua umurnya dalam sejarah manusia. "Agama-agama" paling kuno, seperti dinamisme atau animisme, sama sekali tidak membagi dewa-dewa mereka sebagai laki-laki atau perempuan. Bagi mereka, masalah jenis kelamin ini sama sekali tidak penting. Agama-agama yang muncul kemudian telah mulai membagi kekuatan-kekuatan supranatural ini menjadi dewa (laki-laki) dan dewi (perempuan). Namun di antara keduanya sama sekali tidak nampak perbedaan kekuasaan yang mencolok. Agama orang-orang Yunani, misalnya, sekalipun menempatkan Zeus (laki-laki) sebagai pemimpin tertinggi, namun ia seringkali tidak dapat menghalangi apa yang dimaui oleh istrinya, Hera. Untuk hampir tiap masalah, selalu ada pasangan dewa dan dewi yang menaunginya, seperti Athena-Aries (perang), Cupid-Venus (cinta), dll. Apollo jelas laki-laki, namun objek yang dinaunginya yakni matahari selalu harus menyerah pada bulan yang dilindungi oleh Artemis ketika malam tiba. Bahkan Apollo dan Artemis adalah kakak-beradik. Baru pada agama-agama monotheis-lah kekuatan supranatural tertinggi dilekatkan pada laki-laki, seperti yang nampak pada anggapan kebanyakan penganut monotheis mengenai apakah Tuhan adalah laki-laki atau perempuan.

Kemungkinan-kemungkinan untuk Pembebasan Perempuan

Di atas kita dapat melihat bahwa penempatan perempuan pada posisi kelas dua dalam masyarakat berawal dari tergesernya peranan kaum perempuan dalam lapangan produksi. Dan, pada gilirannya, tergesernya peran ini adalah akibat dari tingkatan teknologi masa itu yang tidak memungkinkan kaum perempuan untuk memasuki lapangan produksi.

Posisi kelas dua ini diperkukuh oleh sistem kepemilikan pribadi, yang pada gilirannya memunculkan diri dalam berbagai prasangka, sistem nilai dan ideologi yang menegaskan paham keunggulan laki-laki dari perempuan.

Karena ketertindasan perempuan berawal dari sebuah perjalanan sejarah yang objektif maka upaya pembebasan perempuan dari posisi yang ditempatinya sekarang ini harus pula menemukan kondisi objektif yang memungkinkan dilakukannya pembebasan tersebut. Kondisi itu adalah kembalinya kaum perempuan ke lapangan produksi kolektif.

Kondisi ini sesungguhnya telah diwujudkan oleh kapitalisme. Kapitalisme, yang mengandalkan mesin sebagai alat produksinya yang utama, telah memungkinkan kaum perempuan untuk kembali berkarya di bidang produksi kebutuhan masyarakat. Bahkan, sekarang ini, jika kita melihat di kota-kota besar, sudah jarang sekali ada kaum perempuan yang tidak memberikan sumbangan bagi perolehan kebutuhan hidup keluarganya.

Lagipula, kapitalisme telah membuat sistem produksi menjadi semakin lama semakin kolektif. Sepasang sepatu NIKE, misalnya, adalah buah karya ratusan, bahkan ribuan, orang dari berbagai negeri. Hampir tiap barang yang kita pergunakan untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari merupakan hasil kerja ratusan bahkan ribuan orang. Ini semua adalah pertanda bahwa sistem produksi komunal semakin hari semakin berjaya kembali.

Dapatlah kita lihat bahwa perkembangan kondisi objektif ini telah menghasilkan ruang yang sangat terbuka bagi perempuan. Gerakan emansipasi perempuan telah berkembang bersamaan dengan masuknya perempuan-perempuan ke pabrik-pabrik. Kini perempuan telah berhak turut serta dalam berbagai bidang pekerjaan. Kebanyakan perempuan juga telah bebas untuk memilih jalan hidupnya sendiri, termasuk memilih pasangan hidup.

Namun demikian, kondisi objektif ini tidak dapat berkembang menjadi pembebasan perempuan yang sepenuh-penuhnya karena sistem nilai yang ada di tengah masyarakat masih merupakan sistem nilai yang mendukung adanya peminggiran terhadap peran perempuan.

Kita dapat melihat bahwa pekerja perempuan kebanyakan diupah jauh lebih rendah daripada pekerja laki-laki. Dan ini bukan terjadi di pabrik-pabrik saja. Demikian pula yang terjadi di banyak kantor-kantor, bahkan di kalangan industri perfilman di mana aktris biasanya digaji lebih rendah daripada aktor.

Masih dalam bidang pekerjaan, kita tahu bahwa bidang-bidang tertentu masih diposisikan sebagai "bidangnya perempuan". Seorang sekretaris, misalnya, haruslah cantik dan memiliki bentuk tubuh yang "menarik". Banyak orang masih meremehkan seorang perempuan yang bercita-cita dan berusaha keras untuk, misalnya, menjadi seorang pilot.

Ini berkaitan erat dengan masih dijadikannya perempuan sebagai simbol seksual dalam masyarakat. Penilaian utama terhadap seorang perempuan diletakkan pada apakah ia "cantik", "seksi" atau bentuk-bentuk penilaian fisik lainnya. Sesungguhnya, penilaian inipun sangat bergantung pada masyarakatnya karena apa yang "cantik dan seksi" untuk satu jaman belum tentu demikian untuk jaman lainnya. Dan pada titik ekstrimnya, kita melihat pelacuran sebagai bentuk eksploitasi puncak terhadap perempuan karena di sini bukan saja tenaganya yang dieksploitasi melainkan juga moral dan intelektualitasnya.

Di tengah masyarakat kita telah pula berkembang gerakan anti-emansipasi perempuan. Banyak bentuk yang diambil oleh gerakan ini, namun pada intinya gerakan ini berusaha mengembalikan posisi perempuan menjadi posisi terpinggirkan. Perempuan hendak dikembalikan pada posisi tidak turut dalam pengambilan keputusan, bahkan hendak dibatasi kembali ruang geraknya.

Sebaliknya, banyak pula dari kaum perempuan yang telah lolos dari jerat pembatasan-pembatasan, ternyata justru berbalik ikut membatasi gerak, bahkan turut menindas, kaum perempuan lainnya. Telah banyak pemimpin perempuan di muka bumi ini, tapi berapa banyak dari mereka yang berjuang untuk membebaskan kaum perempuan dari keterpinggiran dan keterbelakangan? Telah banyak pula manajer dan direktur perempuan di dalam perusahaan-perusahaan, tapi berapa banyak dari mereka yang berjuang agar buruh-buruh perempuan di pabriknya mendapatkan seluruh hak mereka sebagai perempuan?

Contoh paling kongkrit kita dapatkan di negeri sendiri. Presiden Megawati adalah seorang perempuan, namun sampai saat ini tidak satupun konvensi PBB yang memberikan perlindungan terhadap perempuan yang diratifikasi oleh Indonesia. Padahal, tindakan meratifikasi konvensi PBB adalah termasuk langkah politik yang moderat. Ia juga telah memotong berbagai subsidi barang-barang kebutuhan hidup. Pemotongan subsidi ini pasti memukul langsung nasib kaum perempuan Indonesia yang sampai saat ini masih terus terbelit dalam kungkungan tembok-tembok domestik.

Di atas telah kita lihat bahwa masih ada satu faktor lagi yang mengukuhkan ketertindasan perempuan: kepemilikan pribadi.

Kepemilikan pribadi tumbuh dari sebuah proses produksi yang perorangan, di mana seluruh barang kebutuhan dihasilkan oleh perorangan. Di bawah kapitalisme halnya tidak lagi demikian. Barang kebutuhan hidup telah dihasilkan secara komunal, secara kolektif. Namun, hasil produksi yang komunal ini masih dikangkangi secara pribadi, secara perorangan.

Dan oleh karena sistem kepemilikan pribadi masih berjaya, maka seluruh sistem nilai yang mendukung kepemilikan pribadi itu akan ikut berjaya pula. Dan kita tahu bahwa sistem nilai yang mendukung kepemilikan pribadi adalah juga sistem nilai yang mendukung peminggiran terhadap kaum perempuan.

Oleh karena itu, perjuangan pembebasan terhadap perempuan tidaklah dapat dilepaskan dari perjuangan untuk mengubah kendali atas proses produksi (dan hasil-hasilnya) dari tangan perorangan (pribadi) ke tangan masyarakat (sosial). Sebaliknya, pengalihan kendali ini tidak akan berhasil jika kaum perempuan belumlah terbebaskan. Tidaklah mungkin membuat satu pengendalian produksi (dan pembagian hasilnya) secara sosial jika kaum perempuan, yang mencakup setidaknya setengah dari jumlah umat manusia, tidaklah terlibat dalam pengendalian itu.

Di sinilah kita dapat menarik satu kesimpulan: perjuangan pembebasan perempuan akan berhasil dengan sempurna jika ia disatukan dengan perjuangan untuk mencapai sosialisme. Dan sebaliknya, perrjuangan untuk sosialisme akan juga berhasil dengan sempurna jika perjuangan ini menempatkan pembebasan perempuan sebagai salah satu tujuan utamanya. Kedua perjuangan ini tidak boleh dipisahkan, atau yang satu didahulukan daripada yang lain. Keduanya harus berjalan bersamaan dan saling mengisi.

Hanya dengan demikianlah kaum perempuan akan dapat dikembalikan pada posisi terhormat dalam masyarakat - sejajar dengan laki-laki dalam segala bidang kehidupan: ekonomi, sosial dan politik.

PUISI-PUISI WIJI THUKUL

AKU MASIH UTUH DAN KATA-KATA BELUM BINASA

aku bukan artis pembuat berita

tapi memang

aku selalu kabar buruk

buat para penguasa

puisiku bukan puisi

tapi kata-kata gelap

yang berkeringat

dan berdesakan mencari jalan

ia tak mati-mati

meski bola mataku diganti

ia tak mati-mati

meski bercerai dengan rumah

ia tak mati-mati

telah kubayar apa yang dia minta

umur-tenaga-luka

kata-kata itu selalu menagih

padaku ia selalu berkata

:kau masih hidup!

aku memang masih utuh

dan kata-kata belum binasa

18 juni 1997


CATATAN SUBVERSIF TAHUN 1998

-disebabkan oleh Wiji Thukul

kau adalah kemarau panjang

yang hanya membawa kematian

kepada daun, bunga, dan

ikan-ikan di sungai

kampung tercinta

karena kau adalah kemarau

maka airmata kami akan

menggenangi bumi

jadi embun

naik ke langit, jadi awan-awan

dan dengarlah gemuruh kami

sebagai hujan turun

mengusirmu dari sini!


DARMAN

desa yang tandus ditinggalkannya

kota yang ganas mendupak nasibnya

tetapi ia lelaki perkasa

kota keras

hatinya pun karang

bergulat siang malam

Darman kini lelaki perkasa

masa remaja belum habis direguknya

Tukini setia terlanjur jadi bininya

kini Darman digantungi lima jiwa

Darman yang perkasa

kota yang culas tidak akan melampus hidupnya

tetapi kepada tangis anak-anaknya

tidak bisa menulikan telinga

lelaki, ya Darman kini adalah lelaki

perkasa, ya Darman kini adalah lelaki perkasa

ketika ia dijebloskan ke dalam penjara

Tukini setia menangisi keperkasaannya

ya merataplah Tukini

di dalam rumah yang belum lunas sewanya

di amben bambu wanita itu tersedu

sulungnya terbaring diserang kolera

Tukini yang hamil buncit perutnya

nyawa di kandungan anak kelima

* * *

Jakarta simpang siur

ormas-ormas tiarap

tiap dengar berita

pasti ada aktivis ditangkap

telepon-telepon disadap

koran-koran disumbat

rakyat was-was dan pengap

diam-diam orang cari informasi

dari radio luar negeri

"jangan percaya

pada berita mass media cetak

dan elektronika asing!"

Penguasa berteriak-teriak setiap hari

nasionalismenya mirip-mirip Nazi

***Puisi ini belum diberi judul oleh Wiji Thukul

Agustus 1996

SAJAK-SAJAK BAWAH TANAH WIJI THUKUL

(1)

kekuasaan yang sewenang-wenang

membuat rakyat selalu berjaga-jaga

dan tak bisa tidur tenang

sampai mereka sendiri lupa

batas usianya tiba

dan dalam diamnya

rakyat ternyata bekerja

menyiapkan liang kuburnya

lalu mereka bersorak

ini kami siapkan untukmu tiran!

penguasa yang lalim

ketika mati tak ditangisi rakyatnya

sungguh memilukan

kematian yang disyukuri dengan tepuk tangan

11 Agustus 1996

(2)

Para jendral marah-marah

Pagi itu kemarahannya disiarkan oleh televisi.

Tapi aku tidur. Istriku yang menonton.

Istriku kaget. Sebab seorang letnan jendral menyeret-nyeret namaku.

Dengan tergopoh-gopoh selimutku ditarik-tariknya.

Dengan mata masih lengket aku bertanya: mengapa?

Hanya beberapa patah kata keluar dari mulutnya:

"Namamu di televisi..."

Kalimat itu terus dia ulang seperti otomatis.

Aku tidur lagi dan ketika bangun wajah jendral itu

sudah lenyap dari televisi. Karena acara sudah diganti.

Aku lalu mandi. Aku hanya ganti baju. Celananya tidak.

Aku memang lebih sering ganti baju ketimbang celana.

Setelah menjemur handuk aku ke dapur. Seperti biasa mertuaku yang setahun lalu ditinggal mati suaminya itu, telah meletakkan gelas

berisi teh manis.

Seperti biasanya ia meletakkan di sudut meja kayu panjang itu, dalam posisi yang gampang diambil.

Istriku sudah mandi pula. Ketika berpapasan denganku kembali

kalimat itu meluncur, "namamu di televisi..."

Ternyata istriku jauh lebih cepat mengendus bau kekejaman kekuasaan itu daripada aku.

12 Agustus 1996

(3)

wani

bapakmu harus pergi

kalau teman-temanmu tanya

kenapa bapakmu dicari-cari polisi

jawab saja:

"karena bapakku orang berani"

kalau nanti ibu didatangi polisi lagi

menangislah sekuatmu

biar tetanggamu kanan-kiri datang

dan mengira ada pencuri masuk rumah kita

TENTANG SEBUAH GERAKAN

tadinya aku pengin bilang:

aku butuh rumah

tapi lantas kuganti

dengan kalimat:

setiap orang butuh tanah

ingat: setiap orang!

aku berpikir tentang

sebuah gerakan

tapi mana mungkin

aku nuntut sendirian

aku bukan orang suci

yang bisa hidup dari sekepal nasi

dan air sekendi

aku butuh celana dan baju

untuk menutup kemaluanku

aku berpikir tentang gerakan

tapi mana mungkin

kalau diam?

TUJUAN KITA SATU IBU

kutundukan kepalaku

bersama rakyatmu yang berkabung

bagimu yang bertahan dihutan

dan terbunuh di gunung

di timur sana

di hati rakyatmu

tersebut namamu selalu

dihatiku

aku penyair mendirikan tugu

meneruskan pekik salammu

:a luta continua

kutundukan kepalaku

kepadamu kawan yang dijebloskan

ke penjara negara

hormatku untuk kalian sangat dalam

karena kalian lolos dan lulus ujian

dari ujian pertama yang mengguncang

kutundukan kepalaku

kepadamu ibu-ibu

hukum yang bisu

telah merampas hak anakmu

tapi bukan cuma anakmu ibu

yang diburu dianiaya difitnah

dan di adili di pengadilan

yang tidak adil ini

karena itu aku pun anakmu

karena aku ditindas

sama seperti anakmu

kita tidak sendirian

kita satu jalan

tujuan kita satu ibu:

pembebasan!

kutundukan kepalaku

kepada semua kalian para korban

sebab hanya kepadamu kepalaku tunduk

kepada penindas

tak pernah aku membungkuk

aku selalu tegak

Juli, empat, sembilan tujuh

BUNGA DAN TEMBOK

Seumpama bunga, kami adalah bunga yang tak kau kehendaki adanya

engkau lebih suka membangun rumah dan mengusur tanah

Seumpama bunga, kami adalah bunga yang tak kau kehendaki tumbuhnya

engkau lebih suka membangun jalan dan pagar besi

Seumpama bunga, kami adalah bunga yang dirontokan dibumi kami sendiri

Jika kami bunga, engkau adalah tembok itu

dan ditubuh tembok itu telah kami tebar biji-biji

Suatu saat kami akan tumbuh bersama

dengan satu keyakinan engkau harus hancur

Dalam keyakinan kami dimanapun:

"TIRANI HARUS TUMBANG!"

*KEMERDEKAAN TAHUN 1982

Kemerdekaan adalah nasi

Di makan jadi tai.

* Puisi ini dibuat oleh Thukul secara spontan saat diundang baca puisi

di sebuah kampung di Solo dalam acara 17 Agustus 1982.

NEO LIBERALISME DAN GLOBALISASI

NEO LIBERALISME DAN GLOBALISASI

Kemiskinan Mencolok.

Di Amerika Latin, gelombang privatisasi yang diminta Word Bank dan IMFtelah menghasilkan penganguran, mengantarkan ribuan buruh turun ke jalan menjadi rombongan penganguran. Kontradiksi yang tak terselesaikan di benua ini menjadi terpolarisasi. Kita percaya bahwa Amerika Selatan adalah jaringanlemah dalam rantai imperialis transisional di era globalisasi.

Ide-ide ekonomi dan politik yang dihamburkan borjuasi imperialis dan intelejensia mereka tak punya maksud lain yaitu untuk memusnahkan suatu bagian dari masyarakat kita. Kita akan mencoba untuk menganalisa ide ini dalam bentuk yang ilmiah. Suatu tugas untuk intelejensia progreif revolusioner harus dikontribusikan lagi, sebagaimana nampaknya mereka masuk ke dalam periode swa sensor beberapa waktu lalu. Sebagai suatu organiasi politik yang telah berkembang di hati rakyat, kita akan mencoba untuk mengungkapkan ide-ide ini dalam bahasa yang sesederhana mungkin, tanpa kehilangan makna ilmihnya. Metode ini, dan aksi praktis kita, membuat kita selalu berada di hati dan kepala rakyat, mengesmpingkan harapan banyak orang yang masih mencoba untuk meyakinkan diri mereka sendiri pada tangisan kemenangan Fujimoriisme, dan lainnya yang mengumumkan bahwa penghancuran pada setiap kesempatan yang mungkin, sambil meminta maaf bagi kediktatoran. Ini bukanlah tujuan kita untuk jatuh pada pemakaian "terminologi yang enak" tetapi kita sadar itu sebuah permohonan maaf untuk konsep klarifikasi, dimana banyak orang yang dulunya aktif dalam putaran progersif dan revolusioner mulai memakai, karenanya hanya membuat kebingungan dan harapan yang salah dalam rakyat kita.

Pada saat apa yang disebut "model neo-leberal" menunjukkan dirinya sebenarnya, ada sebuah rangkaian protes sosial dengan kekerasan, sebagaimana di Mexico, Venezuela, Argentina dll, yang membuktikan bahwa tak mencapai hasil yang mereka inginkan , dan bahwa mereka tak bisa lagi menjual harapan yang salah kepada jutaan orang miskin didorong ke dalam kondisi kesedihan ekstrim, di Peru, di Andes kita dan diseluruh benua.

"Statement intensi" atau suatu program untuk neo koloni.

Dalam bayangan "statemen intensi" yang dikembangkan IMF, mereka bermaksud untuk menswastakan tanah, sumber daya alam, dan yang tertinggal dari industri kita . Statemen ini adalah program sejati dari pemerintahan (neo kolonial) Amerika Latin dan telah menjadi penyebab penganguran yang besar, kemiskinan, dan kesedihan, dan mereka membuat jutaan orang mati kelaparan, seperti di Somalia. Adalah dalam kondisi ini ketika orang Peru dan Amerika Latin dan organisasi revolusioner mereka harus merencanakan alternatif objektif dan ilmiah untuk melawan sistem pembunuh dan pembinasa ini.

LIBERALISME DAN NEO LIBERALISME

Model ini secara teoritis berasal dari teori klasik liberal milik Adam Smith dan David Ricardo, dan diterapkan di zaman globalisasi. Bagaimanapun jika kita menekankan perbedaan kelas kita dengan klasik ekonomi borjuis, yang tak bermaksud untuk mengatakan bahwa kita tak melihat kontribusi mereka pada teori ekonomi umum; teori tentang nilai kerja, dimana dengan kelas elemen lain diperlakukan sebagai basis dimana ketidak adilan teori ekonomi kapitalis diumumkan, dimana mereka yang membuat kesejahteran yang berputar di dunia tak punya akses untuk itu. Disamping pertanyaan subjektif tentang keadilan dan ketidak-adilan, sistem ini membuat kelas revolusioner, yaitu proletariat, yang dengan kapasitasnya membuat kesejahteraan dan dengan bentuk organisasi sosial dalam proses produksi adalah satu-satunya yang mampu untuk memberi alternatif radikal terhadap kapitalisme. Krisis kapitalisme bukan dibuat oleh kelangkaan barang, seperti dalam ekonomi sebelum kapitalisme, tetapi dengan dampaknya. Dari titik pandang ini, apa yang di sebut "Neo liberal" adalah lebih jauh dari Smith dan Ricardo daripada Marxisme; apologi borjuis mereka tak diharapkan atau mampu untuk masuk ke dalam perdebatan tentang "Teori Nilai", dan dengan usaha mereka untuk mengurangi krtesi produk dan kesejahteraan pada kekuatan besar kapital dan pasar. Mungkin mereka tak mau tahu bahwa kapital ada sebagai produk nilai yang diakumulasikan dan dibuat pekerja, yang kemudian dikonsentrasikan ke dalam tangan swasta. Pada titik ini, yang adalah tulang belakang liberalisme, tak ada pertemuan dengan neo liberal. Dengan cara yang sama "perdagangan Bebas" yang ditawarkan oleh kaum liberal tak punya hubungan dengan monopoli komersial yang diterapkan oleh kaum globalisasi, atau monopoli multinasional (imperialis). Menurut Jonathan Elliot tahun 1987: "terhitung bahwa pada level pasar dunia, 40% perdagangan tak melalui suatu pasar bebas tetapi melalui perdagangan internal (dalam beberapa perusahaan)". Tahun 1994, Julies Kagian mengatakan dalam "Midle East Internasional" bahwa : "di Amerika Serikat, lebih 80% pendapatan dari barang yang dijual diluar, terbatas dalam dollar, tak datang dari ekspor tetapi dari menjual oleh perusahaan yang berafiliasi".

Globalisasi : Topeng baru Imperialisme

Pendewan pasar adalah tak lain dari produk modal nasional pada tingkat internasional, menghancurkan rintangan fisiknya . Fenomena ini dipelajarii pada permulaan abad ini dan dinamakan "imperialisme" oleh Lenin. Dalam cara ini globalisasi ekonomi hanyalah konsentrasi nilai yang dibuat masyarakat dunia dalam multinasional. Dapat dikatakan kemajuan penyatuan modal bank, finansial dan produksi.

Jumlah perusahaan multinasional telah meningkat dari 7000 pada tahun 1970 menjadi 37.000 pada tahun 1992. Bekas perusahan nasional telah bersatu dengan yang lainnya dari negara lain dan mereka menjaga ketergantungan pada yang terbesar. Kekuatan ekonomi perusahaan multinasional lebih besar dari banyak negara-negara nasional. Contohnya penjualan mereka telah naik menjadi 5,5 milliard dollar, 90% yang dibuat negara imperialis utara dan hanya 10% dibuat di negara produsen selatan. Kekuatan ekonomi multinasional memberi mereka kekuatan politik tak terbatas melampaui negara nasional.

SEDIKIT SEJARAH

Perkembangan produksi membuat kontradiksi antagonistik antara kepemilikan swasta terhadap alat produksi dan sosialisasi produksi itu sendiri antara modal dan buruh, dan hal ini dihasilkan dalam banyak krisis dan dua perang dunia. Perang-perang ini mengizinkan pemenang untuk memotong pasar dunia lagi, dan mengubur krisis mereka .

Pada akhir perang dunia 2, berkumpulnya kapital melalui multinasional sebagian besar Kapital amerika utara, melalui Marshall Plan, untuk mengabsorb apa yang tertinggal modal jepang dan eropa. Multinasional membuat sebagian besar dari tingkat tinggi pembangunan yang dicapai oleh buruh di negara-negara ini. Bagaimanapun disamping fakta bahwa pekerja menjual labor mereka dalam kondisi baik, dikarenakan pengaruh kompetisi dari negara-negara sosialis, maka tak mungkin untuk mengutamakan kontradiksi antagonis antara modal dan buruh, atau antara produksi alam sosialis produksi dan perampasan swasta produknya. Tanpa kesadaran ini tak akan mungkin bagi kita untuk menjelaskan ketidak-puasan dan pemogokan di Perancis.

Mungkin bahwa Imperialis atau Globalizer (untuk menggunakan istilah baru), telah menanam uang banyak untuk menginvestigasi bagaimana menghindari krisis dan kebangkitan kekerasan, dan bahwa mereka telah mencapai tahapan kontrol fikiran melalui media massa, tetapi mereka tak berhasil dalam menutupi ketidakpuasan ini, yang tetap tumbuh hari demi hari, dan setiap saat ia jadi lebih sulit bagi mereka untuk membuat orang percaya bahwa sistem ini tak bertanggung-jawab terhadap persoalan dunia; di utara mereka melihat gelombang imigran dan jutaan dollar dikirim sebagai "bantuan" kemanusiaan pada negara "terbelakang". Pada era pasca perang, mereka mengamankan pasar internal di utara, yang meningkat dalam kedalaman tetapi tak meluas. Hal ini membawa kepada perkembangan konsumerisme. Hal ini dihasilkan dalam borjuisifikasi kelas pekerja, memisahkan mereka dari tugas sejarah mereka. Alasan bahwa ia yang bisa memuaskan kebutuhan dasarnya tak punya kepentingan dalam perubahan sosial. Meskipun mereka sadar akan kenyataan bahwa standar tinggi mereka akan hidup datang dari pemusnahan seluruh orang, setelah sumber daya alam bangsa-bangsa ini telah dirampok. Pemerintahan imperialis mensyahkan hal ini dengan mengatakan bahwa orang selatan itu pemalas dan kepala batu. Diluar itu, mereka juga telah dijangkiti oleh pertumbuhan tak putus-putus dalam pengangguran, yang meskipun bisa ditutupi dengan manipulasi statistik tetapi tak dapat dibantah bahwa kasus dan memindahkan sektor penting populasi dari pasar konsumen.

Cara lain yang mereka coba untuk menghindari atau bangkit dari krisis mereka adalah dengan mengembangkan perang regional jauh dari pusat mereka, yang didasarkan pada agama, rasisme, teritori dll. Mereka menyediakan pasar yang bagus untuk senjata.

Tetapi sesuatu yang mengerikan terjadi di dunia globalisasi. Tahun demi tahun profit terus menurun dan satu-satunya jalan bagi mereka untuk bangkit dari situasi ini adalah dengan memotong upah dan tunjangan sosial, dan hal ini telah menyebabkan gelombang kemubaziran yang massif, pertama di negara-negara selatan dan kemudian di metropol mereka di utara. Tendensi ini tak punya peluang untuk diperbaiki. Perbedaan nya adalah di utara efek sosial tendensi ini ditutupi dengan negara kesejahteraan, sesuatu yang tak kita miliki di selatan.

Negara kesejahteraan di utara semakin memburuk, pada saat yang sama kelas menengah di Amerika Latin menghilang, meningkatkan gelombang migrasi eksternal dan internal dalam upaya untuk meningkatkan kondisi hidup mereka.

Proletariat internasional dan organisasinya masuk ke dalam suatu periode pembengkokan kepada pengaruh "negara kesejahteraan-isme" dan "reformisme". Hal ini memundurkan perkembangan praktis dan teori sosialisme dunia untuk waktu yang lama. Bagaimanapun peningkatan luar biasa dari kekuatan-kekuatan produksi tidak dibarengi dengan program alternatif, yang tak hanya akan menahan peningkatan disproporsi dalam eksploitasi kekuatan buruh dan perampokan sumber daya alam. Itu adalah sebagai contoh tak mungkin untuk mengabaikan fakta bahwa hari ini, disamping kenyataan bahwa kekuatan produksi telah berlipat ganda sejak abad terakhir dan kita telah memasuki fase sebuah revolusi dalam teknologi informasi dan cybernet, orang masih bekerja 8 jam sehari di utara dan jauh lebih lama di selatan. Hal ini masuk akal karena pasti penganguran ketika seseorang dipaksa untuk bekerja dua atau tiga. Ini di dalam kapasitas setiap pekerja untuk menyadari bahwa hari kerja tak dipotong paling tidak tiga atau setengahnya. Di Amerika Latin, privatisasi terkenal yang diminta oleh World Bank dan IMF telah memicu terjadinya pengangguran. Bagaimanapun melalui tingkatan perkembangan kekuatan produksi yang dicapai di Amerika Latin dan melalui polarisasi kontradiksi yang tak terselesaikan di benua kita.

Kita adalah jaringan lemah di dalam rantai Imperialis. Benua kita telah melalui banyak jalan, kita telah membuat banyak kesalahan dari mana kita percaya kita telah belajar dan sekarang kita menawarkan untuk membangun alternatif sosialis, karena kalau tidak, jika kita tinggal di kerajaan globalisasi imperialis, kita terancam pengangguran, kesedihan dan pemusnahan.

Lawan Neo Liberalisme dan Globalisasi !!!

Sosialisme atau mati !!

Venceramos !!

Tupac Amaru Revolusinary Movement (MRTA)

Pertegas Posisi Politik, Bagi yang Anti-penjajahan asing, mari Kita Bangun Front Nasional

Pertegas Posisi Politik, Bagi yang Anti-penjajahan asing, mari Kita Bangun Front Nasional


Ditulis Oleh Gede Sandra
Minggu, 17 Februari 2008
arah.jpg Situasi Ekonomi
Krisis minyak dunia yang terjadi lagi di penghujung 2007 masih disebabkan oleh naiknya permintaan bahan bakar minyak menyambut musim dingin di sebagian belahan dunia; bersamaan dengan terjadinya konflik politik di Timur Tengah. Di luar pandangan awam demikian, ada penilaian bahwa krisis sebenarnya terjadi oleh ulah spekulan/broker minyak di pasar dunia; ataupun juga karena semakin tajamnya polarisasi politik dunia.
Apapun kemungkinan penyebabnya, kita akan terlebih dahulu menilai dampaknya terhadap situasi ekonomi nasional. Akibat krisis ini harga minyak dunia melonjak sampai US$90-100 atau naik sekitar 50-60% dari sebelumnya. Kenaikan harga minyak dunia akan menyebabkan sebagian kecil negara (yang memiliki SDA minyak bumi) diuntungkan sedangkan sisanya merugi. Kemungkinan Indonesia juga ikut diuntungkan.
Menurut perhitungan Kwik Kian Gie, akibat kenaikan harga minyak dunia, seharinya Indonesia dapat menangguk untung sampai ratusan milyar rupiah- yang langsung masuk kas negara . Namun, pastinya kenaikan harga minyak dunia akan diikuti juga oleh kenaikan harga seluruh komoditi di pasar internasional.
Kenaikan harga komoditi di pasar dunia inilah yang sebenarnya dapat membebani struktur industri Indonesia yang rapuh . Industri nasional masih sangat berketergantungan terhadap impor bahan baku dan barang modal dari luar negeri. Itulah sebabnya sektor industri, yang paling banyak menyerap tenaga kerja nasional, akan terhuyung-huyung jalannya akibat situasi pasar komoditi dunia. Bersamaan dengan itu gelombang privatisasi terhadap BUMN-BUMN unggulan juga tetap gencar dilakukan. Dalam situasi seburuk apapun, kemungkinan besar industri-industri ekstraktif (migas, galian mineral, perkebunan) tidak akan terlalu terpengaruh. Karenanya, nilai ekspor yang sebagian besar disumbang dari sektor ini akan tetap ‘cantik’ sehingga masih bisa disombongkan SBY-JK.
Goncangan pasar dunia, belum lama ini, akibat krisis properti di Amerika tidak terlalu berpengaruh bagi laju permintaan dunia terhadap bahan mentah dari Indonesia. Bersama TKI, ekspor bahan mentah akan tetap dapat mengisi devisa nasional.
Di saat-saat genting bagi kemandirian industri nasional seperti ini, pemerintah telah memperkeruh suasana dengan menaikkan kembali harga BBM industri -bagian dari kebijakan liberalisasi sektor hilir migas. Kenaikan harga BBM industri -yang menyumbang sekitar 40% cost production pabrik- akan mempercepat arus deindustrialisasi. Kalaupun dapat bertahan dari arus ini, serpihan pabrik-pabrik nasional akan lebih memilih untuk bertransformasi menjadi gudang-gudang bagi komoditi impor.
Liberalisasi sektor hilir migas (demi keuntungan MNC migas) tidak hanya terjadi pada BBM industri. Program konversi minyak tanah (Mei 2007) dan premium (Desember 2007) adalah karya nyata neoliberalisme menyiasati percepatan liberalisasi sektor hilir migas. Padahal program konversi minyak tanah selama beberapa bulan saja telah cukup mengoyak perekonomian rakyat; apalagi setelah nantinya ditambah program konversi premium. Di sisi lain, liberalisasi di sektor hulu migas masih cukup gencar .
Adapun, situasi masih terjadi seperti sebaliknya pada sektor perbankan. Semenjak kebijakan suku bunga tinggi dikenakan untuk menanggulangi inflasi tinggi akibat kenaikan BBM dua tahun lalu, sektor perbankanlah yang paling diuntungkan. Privatisasi juga mengenai sektor ini. Rupiah yang mengalir masuk tidak digunakan perbankan untuk membantu sektor industri- yang semakin gamang ketika dihadapkan pula pada bunga kredit usaha yang tinggi. Rupiah malah dikucurkan sebesar-besarnya; semudah-mudahnya untuk kredit konsumsi rakyat. Kalaupun ada untuk sektor usaha, hanya dikucurkan bagi industri ekstraktif yang berorientasi ekspor .
Karenanya sudah sejak lama kegemukan sektor perbankan tidaklah menunjang produktivitas nasional. Sektor perbankan nasional hanya dipersiapkan untuk menjadi room boy yang baik bagi modal asing yang menginap sampai 90 tahun lamanya di hotel ‘zamrud khatulistiwa’. Sektor perbankan akan kelimpungan sendiri jika nantinya hot money berlarian dari pasar uang nasional. Itulah saat bubble (gelembung) ekonomi kita meletus.
Tapi kemungkinan besar Washington tidak akan berani membiarkan itu terjadi. Mereka akan terus menjaga Indonesia selama masih menguntungkan mereka secara ekonomi dan politik; atau setidaknya selama rezim yang berkuasa masih patuh.
Makanya tidak aneh bila muncul juga skenario (B) penutupan ruang politik dan demokrasi demi keamanan modal asing. Ekonomi rakyat dapat digambarkan langsung dari situasi: pendapatan rakyat tidak kunjung meningkat tapi secara pasti harga-harga kebutuhan hidupnya terus naik. Daya beli dan upah riil semakin menurun sebagai konsekuensi kenaikan harga semua barang akibat berbagai program konversi nya SBY-JK .
Jika mempertimbangkan keberadaan barisan tekyan (baca: kaum muskin kota) yang terus menerus lahir, tingkat persaingan ekonomi kelas bawah akan bertambah pelik. Gangguan jiwa dan terjerembab ke kriminalitas akibat kesulitan ekonomi akan menjadi masa depan bagi angkatan kerja saat ini. Indonesia harus segera banting stir untuk kemudian memilih jalan ekonomi yang baru.
Secara umum ekonomi nasional masih berada dalam rel neoliberal, hanya lajunya yang lebih cepat. Perekonomian rakyat tetap semakin memburuk; tidak ada yang berbeda dari tahun-tahun sebelum ini: polaritas kaya-miskin semakin lebar dan tegas; industri nasional bangkrut; dan kekayaan alam kita berangsur habis. Harus disadari bahwa situasi rakyat saat ini bagaikan api dalam sekam.
Situasi Politik
Rezim semakin sibuk menebar konsesi ekonomis untuk menjaga agar api dalam sekam tidak meluas. Berbagai program populis pun bermunculan: Askeskin, Gakin, BOS, kenaikan gaji PNS, bantuan kredit UKM, dsb; dibiayai keuntungan minyak. Dalam jumlah yang lebih kecil, korporasi-korporasi asing di Indonesia terpaksa juga ikut menebar receh dalam kantong demi keamanan modal mereka nantinya. Pembiayaan lomba baca puisi (Inco), beasiswa (Freeport), membuat kursus menjahit (Newmont), sampai ke drama perubahan iklim -yang tak lain hanyalah negosiasi harga karbon- di Bali akhir tahun ini (Freeport) selalu dipropagandakan oleh banyak media sebagai maksud baik korporasi untuk memberantas kemiskinan dan melestarikan lingkungan di Indonesia. Kalaupun ada yang cukup bergaung di kalangan kelas menengah, seperti MDG’s, konkretisasinya tidak dirasakan oleh rakyat banyak.
Apapun konsesi yang diberikan oleh rezim dan korporasi, api tetap tak kunjung padam. Kemiskinan telah meluas sedemikian rupa tanpa BPS mampu menghitung jumlah pastinya. Bentuk perlawanan mereka adalah aksi massa, budaya pra-Orde Baru yang diperkenalkan kembali oleh reformasi. Hampir setiap hari akan kita jumpai aksi-aksi massa hampir kontinyu di seluruh wilayah. Sangat wajar jikalau sebagian besarnya adalah aksi-aksi spontan ekonomis.
Kita meyakini, secara material. bahwa banyaknya praktek aksi massa akan menimbulkan lompatan-lompatan dialektika baru dalam kesadaran mayoritas rakyat. Setidaknya, walaupun sekitar 70% rakyat tak ingin teridentifikasi sebagai partisan, mayoritas dari mereka haus akan perubahan (alternatif) nasib; mendamba pada sosok pemimpin bangsa yang baru.
Bersamaan dengan itu, sentimen-sentimen nasionalisme semacam “anti penjajahan asing” dan ”kemandirian bangsa”, mulai menempati ruang di panggung-panggung politik nasional. Di luar Papernas, telah cukup banyak elit dan kelompok yang menyuarakan sentimen-sentimen tersebut. Gejala ini kemungkinan disebabkan: 1) Neoliberalisme telah dilihat sebagai jalan buntu bangsa ini; dan 2) Adanya inspirasi dari proses-proses politik anti imperialisme AS yang diperagakan oleh negara-negara dunia ketiga seperti Kuba, Venezuela, Bolivia, dan Iran.
Di tengah pasang politik menuju pilpres 2009, sentimen-sentimen tersebut berkristal menjadi suatu bentuk konsolidasi politik elektoral bernama Komite Bangkit Indonesia (KBI). Pembentukan KBI diinisiasi oleh Rizal Ramli bersama sekelompok politisi dan ekonom muda dengan wacana: jalan baru ; pemimpin baru. Selain KBI yang cukup besar, juga bermunculan konsolidasi-konsolidasi kecil lainnya yang bersifat non-permanen di panggung politik nasional- juga dengan tema kepemimpinan baru (kaum muda) dan kemandirian bangsa.
Perspektif baru semacam ini, yang tak muncul pada pemilu 2004, diharapkan akan menjadi terobosan politik di ajang 2009- yang dapat memilah situasi politik nasional menjadi: anti- dan pro- terhadap penjajahan asing. Di luar perspektif tersebut, situasi politik nasional hanya marak oleh transaksi dan lobi politik elit menjelang pemilu (eksekutif dan legislatif) 2009.
Di panggung politik lokal, sentimen populisme lebih dominan. Pada musim pilkada setahun ini saja, sentimen populis semacam pendidikan dan kesehatan gratis sangat sering terdengar. Penyebab kurangnya sentimen nasionalisme di panggung politik lokal, terutama yang jauh dari pusat kekuasaan, adalah masih kentalnya semangat kedaerahan- apalagi semenjak berbagai pemekaran daerah pemerintahan diizinkan oleh undang-undang. Kepentingan borjuis-borjuis lokal untuk menjadi komprador asing ini sering diilusi oleh sentimen ketidak adilan ekonomi antara pusat dan daerah maupun semangat primordialisme.
Dalam beberapa level, semangat dan sentimen kedaerahan ini belumlah beresistensi terhadap sentimen nasionalisme (baca: kemandirian bangsa). Di lingkungan gerakan rakyat (ormas dan LSM), konsolidasi-konsolidasi politik yang terjadi masih belum dapat menghimpun aksi-aksi massa ekonomis untuk kemudian meningkatkan kualitasnya menjadi aksi massa yang secara politis strategis untuk kemandirian bangsa- atau setidaknya strategis dalam kepentingan pemilu 2009. Meski terkadang ada pula yang bersifat politis, namun skup dan perspektifnya aksinya masih kecil karena umumnya dibatasi oleh kerangka persaingan antar elit borjuis di nasional dan lokal.
Melihat perkembangan politik nasional sedemikian rupa, mempertimbangkan dekatnya momentum pemilu 2009, rezim berupaya menerapkan skenario (B) sebagai upaya mengamankan posisi modal asing dari serangan nasionalisme dan populisme.
Skenario rezim, yang berupa pembatasan ruang politik dan demokrasi, diluncurkan bersamaan dengan kebijakan neoliberal yang lebih praktis . Skenario pembatasan politik dan demokrasi ini terwujud dalam: berbagai hambatan yang didera Papernas; pelarangan banyak aliran kepercayaan; dan pemoloran pengesahaan calon independen; dsb.
Secara umum, pembatasan ruang politik dan konsesi populis (bagi rakyat) belum sanggup meredam (api dalam sekam) aksi-aksi massa ekonomis pada level gerakan rakyat; maupun manuver politik anti-penjajahan asing pada level politik atas. Sejauh ini memang antara keduanya seakan-akan tak memiliki sangkut paut –padahal sesungguhnya sangatlah berkaitan.
Tahun 2008 harus diabdikan untuk perjuangan anti-penjajahan asing -untuk kemandirian bangsa- sebagai fondasi politik kaum progresif pada ajang pemilu 2009. Lapangan politik atas harus semakin intens diintervensi demi mempertegas garis politik partai-partai beserta elit-elitnya tersebut akan berdiri di kubu mana: anti atau pro terhadap penjajahan asing!
Harapan kita nantinya -di penghujung 2008 atau awal 2009- dunia perpolitikan nasional dan daerah telah terbagi tegas menjadi dua kubu tersebut. Karenanya, selain tetap rutin menjalankan radikalisasi kampanye, tugas kita di tahun 2008 ini adalah: merangkul kelompok-kelompok lain di luar Papernas (partai politik, ormas, LSM, kelompok seniman, kelompok motor, individu progresif, dsb) sebanyak-banyaknya untuk berdiri bersama dalam sebuah Front Nasional untuk Kemandirian Bangsa. Soal nama dan bentuk dapat dinegosiasikan, tapi semaksimal mungkin program-program ekonomi banting stir lah yang menjadi ruhnya nanti.

Senin, 10 Maret 2008

PERJALANAN SRMK

“Bahwa bentuk organisasi dan metode-metode perjuangan akan selalu membutuhkan penyesuaian-penyesuaian atas problematika yang dihadapi rakyat hari ini,

agar kongkrit dalam membaca, menyimpulkan dan memberikan kepemimpinan perjuangan rakyat di HARI INI dan MASA DEPAN.”

I. Kilas balik perjalanan SRMK sebagai LIGA: 2004 – 2007

Kongres pembentukan SRMK 2004 dihadiri 26 organisasi lokal, baik setingkat kota maupun propinsi dan satu organisasi pemuda tingkat nasional. Kongres telah menyetujui dan bersepakat untuk melakukan penyatuan organisasi-organisasi kaum miskin kota. Bentuk penyatuan organisasi tersebut dilandasi adanya kebutuhan sebuah organisasi yang berskala nasional, yang dapat merespon berbagai macam isu, menampung keresahan dan memberikan kepemimpinan politik-organisasi serta memimpin berbagai bentuk perlawanan, khususnya perlawanan kaum miskin kota. Maka, disepakatilah LIGA sebagai jalan keluar bentuk organisasi. Dengan bentuk Liga, diharapkan eksistensi organisasi inisiator maupun organisasi-organisasi yang akan tergabung dapat tetap dipertahankan. Organisasi-organisasi tersebut diberikan hak otonom untuk menjalankan program organisasinya masing-masing dengan tetap menjalankan prinsip-prinsip sentralisme demokrasi.

Dalam perjalanannya ada capaian-capaian politik dalam melakukan respon terhadap berbagai kasus yang dapat dikatakan berhasil, ini dapat dibuktikan banyak kasus penggusuran maupun advokasi kasus lainnya dapat kita pimpinan dan kita menangkan—walau tak mampu menghasilkan pembangunan organisasi sektoral/teritorial dari advokasi kasus tersebut. Bahkan mendorong maju kesadaran ekonomis menjadi tuntutan dan tindakan politik[1]--walau menghasilkan polarisasi di tubuh organisasi inisiator, SRMK tetap mampu memberikan kepemimpinan secara nasional.

Akan tetapi di lapangan organisasi justru berjalan sebaliknya selain gagal membangun organisasi sektoral/teritorial, beberapa organisasi inisiator mengalami kemunduran semisal Gerakan Pemuda Kerakyatan yang mati suri secara politik-organisasi. Semakin diperparah dengan mundurnya beberapa pimpinan SRMK dari struktur kepengurusan DPN SRMK—Sekretaris Jenderal yang sudah tidak aktif sejak pertengahan 2005. Mayoritas organisasi yang terbentuk saat itu adalah komite-komite aksi hasil advokasi kasus. Tak heran, bila dibanyak kota organisasi-organisasi inisiator bubar, dan hanya menyisakan beberapa individu saja. Pengalaman DKI Jakarta, Makassar dan Lampung dalam mengadvokasi kasus penggusuran berhasil membentuk organisasi baru akan tetapi struktur tersebut tidak dapat bertahan lama pasca kasus selesai organisasi tersebut bubar. Hal ini lebih di sebabkan rendahnya tingkat kesadaran massa akan kebutuhan organisasi sebagai wadah perjuangan yang strategis. Dalam banyak kasus, massa masih melihat organisasi hanya sebatas kepentingan sesaat; kepentingan penyelesaian kasusnya.

Akhir 2005 adalah era baru bagi SRMK, perubahan taktik pengorganisasian dari hanya berbasis kasuistik baik lokal maupun sektor, coba diluaskan menjadi pengorganisasian berbasiskan program-program pemerintah. Walau sifatnya kebijakan karitatif (belas kasih) dari rezim. Dengan taktik ini kita berhasil memimpin perjuangan massa dari kesadaran ekonomis ke kesadaran politik. Karena perjuangan menuntut kesejahteraan yang lebih umum ini, memiliki stamina jangka panjang, energi yang lebih besar dan lebih luwes dalam menjalankan gerak organisasinya serta terpimpin secara politik-organisasi jika dibandingkan dengan kasus-kasus lokal/sektor yang mudah dikanalisasi oleh rezim. Perubahan taktik pengorganisasian ini dibarengi perubahan sistematika kerja organisasi, adanya penjadwalan kerja yang sistematis, metode perjuangan radikalisasi terjadwal dalam aksi tiga bulanan serta penguatan disiplin bagi anggota, serta adanya partisipasi anggota dalam kontribusi pendanaan dalam bentuk dana juang.

Arena propaganda semakin lebih luas mencakup seluruh sektor/teritori kaum miskin, bukan hanya dibasis kaum miskin perkotaan tetapi sudah menjalar sampai ke pedesaan. Dengan methode ini sedikit demi sedikit kemenangan-kemenangan kecil dapat kita raih, menjadi basis utama perluasan dan penguatan organisasi saat ini. Kepercayaan massa terhadap organisasi semakin menguat, hal ini bisa dilihat dari penambahan anggota dari waktu kewaktu yang selanjutnya kemudian kita strukturkan dalam struktur basis maupun dalam posko-posko perjuangan rakyat miskin (POPRAM) sehingga tak jarang banyak massa yang mencari posko-posko kita untuk meminta bantuan mengatasi persoalan-persoalan kesejahteraan yang menimpanya. Dari taktik ini juga telah menghasilkan anggota-anggota maju, yang memiliki dedikasi terhadap perjuangan rakyat, memiliki semangat juang yang tinggi dan pengalaman dalam menghadapi realitas politik[2], mereka inilah yang menjadi pelopor dalam menjalankan roda organisasi.

II. Perspektif Pembangunan Organisasi: Menyatukan Sektor dan Teritori Dalam Satu Kepemimpinan

Kini keanggotaan SRMK sudah meluas bukan hanya dibasis kaum miskin di kota-kota besar, akan tetapi juga telah berdiri di kota-kota kecil, di mana secara sektoral tidak bisa dikatakan sebagai kaum miskin kota, karena di banyak kota kecil justru penduduknya mayoritas adalah petani miskin, buruh tani dll. Tentu saja perkembangan organisasi ini adalah satu hal yang positif, dan harus kita sikapi secara benar. Karenanya kita harus memformat ulang bentuk organisasi saat ini agar lebih luas dan fleksibel ditengah kemiskinan rakyat yang tak kenal batas teritori/sektor.

Bila di evaluasi konsepsi Liga tidaklah salah sebagai salah satu bentuk (tahap) pengorganisasian massa. Akan tetapi, ditengah situasi organisasi seperti sekarang[3], masih sangat berat bagi kita (organisasi) untuk membangun sebuah Organisasi Payung. Pola pengorganisasian Liga yang memprioritaskan terbangunnya organisasi-organisasi sektoral/profesi sebagai bentuk perluasan organisasi, pada prakteknya sulit berkembang/meluas. Tidak adanya kesatuan tindakan organisasi menjadi penyebab utama, hal ini terjadi karena alat utama (baca; cara) kita masuk ke massa rakyat dengan berbasiskan isu/kasus sektoral/profesi. Padahal taktik seperti ini lebih mudah dikanalisasikan oleh rezim; sehingga kasus/isunya terlokalisir, terisolir dari realita politik—yang terus bergerak, organisasipun terjebak dalam penyelesaian kasus yang sangat beragam; fragmentatif.

Perubahan konsepsi Liga menjadi Organisasi Massa (Ormas) menjadi tugas kita selanjutnya. Perubahan bentuk organisasi ini, selain dikarenakan persoalan-persoalan politik-organisasi yang telah disampaikan diatas, juga atas pertimbangan taktik perluasan dan penguatan organisasi. Dimana, sejak Presidium Nasional I SRMK Maret 2006 sampai sekarang efektifitas perluasan dan penguatan organisasi diletakkan kepada program-program kesejahteraan yang sifatnya umum serta rekutmen individu sebagai pola pewadahannya menjadi hal yang dominan. Dalam konsepsi Ormas, bukan berarti kita meninggalkan pembangunan organisasi sektoral/profesi. Hanya saja, kerja tersebut tidak menjadi prioritas organisasi saat ini, tidak menjadi kewajiban organisasi seperti selama ini. Kebutuhan akan membangun organisasi sektoral/profesi disesuaikan dengan kebutuhan radikalisasi isu yang terjadi di teritori tersebut. Dalam konsepsi Ormas, kontrol dan kepemimpinan akan lebih terpusat, prinsip-prinsip Sentralisme Demokratik menemukan basis material yang kuat karena pengaturannya langsung antar badan organisasi dan individu. Tidak seperti dalam konsepsi Liga, dimana organisasi-organisasi yang tergabung masih memiliki hak otonom sehingga pada prakteknya logika Sentralisme Demokratik tidak dapat diterapkan secara konsisten. Selain itu, dalam lapangan politik posisi Ormas lebih memiliki kecepatan dalam merespon perkembangan politik yang terus bergerak dibandingkan dalam konsep Liga, dimana organisasi-organisasi memiliki hak otonom yang dapat menyebabkan organisasi menjadi fragmentatif. Sebagai contoh kasus Serikat Pengamen Indonesia (SPI) telah memberikan pelajaran bagi kita, bagaimana keputusan yang telah dibuat badan organisasi yang lebih tinggi dapat dimentahkan dalam pertemuan internal SPI.

Perubahan dari Liga ke Ormas ini, juga harus berbareng dengan perluasan sasaran pengorganisiran, bukan hanya kaum miskin kota, tapi juga kaum miskin di desa-desa harus kita satukan dalam satu wadah organisasi. Memang secara spesifik, kasus-kasus di desa banyak berupa kasus agraria, akan tetapi masalah pokok di desa justru tak jauh berbeda dengan kaum miskin kota, yaitu kesejahteraan umum (kesehatan, pendidikan gratis dll). Maka jangan heran, bila dibeberapa kota kecil, cabang SRMK menamakan dirinya Serikat Rakyat Miskin Desa (SRMD).

Sebagai organisasi yang dirancang untuk bisa fleksibel dalam menghadapi berbagai persoalan rakyat Indonesia, kamipun mengusulkan untuk mengganti nama dari Serikat Rakyat Miskin Kota (SRMK), menjadi Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI). Hal ini didasari kepentingan untuk menyatukan kaum miskin diseluruh pelosok Indonesia dalam satu wadah perjuangan bersama.

III. Bentuk Dan Struktur Organisasi

Pada dasarnya pembangunan organisasi harus di sadari sebagai sebuah jawaban akan problematika yang dihadapi oleh rakyat miskin. Organisasi tersebut harus efektif dalam berbicara dengan massa, mampu menjawab persoalan yang dihadapi massa, mampu mendengar keluhan massa, efektif dalam memperjuangkan program dan strategi taktik secara keseluruhan, efektif dalam pembangunan basis dan perluasan basis, efektif dalam memberikan arahan dan kepemimpinan massa dan efektif dalam melakukan mobilisasi baik mobilisasi menuntut maupun mobilisasi propaganda.

Karenanya pilihan bentuk Ormas adalah pilihan yang tepat untuk situasi saat ini. Bentuk Ormas akan lebih memudahkan bagi penyatuan sektor/teritori karena pewadahan Ormas adalah pewadahan individu, sehingga dapat menghapus sekat-sekat sektoral/profesi yang selama ini menghambat pewadahan bagi kaum miskin di Indonesia. Bentuk organisasi seperti ini di topang dengan struktur organisasi yang simpel, efektif dan dapat dengan leluasa bergerak.



[1] Mulai dari mogok makan anti militerisme sampai menjadi salah satu inisiator pembentukan Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas). Dan dibanyak teritori, anggota-anggota SRMK menjadi pelopor dalam pembangunan Papernas.

[2] Karena kita bukan hanya hidup bersama rakyat dan memahami kesadaran rakyat tetapi juga berhadapan langsung dengan musuh-musuh rakyat; birokrasi korup, aparatus kekerasan negara dll.

[3] Tumpuan berjalannya roda organisasi masih terletak di individu-individu maju, karena dalam konsepsi LIGA, organisasi-organisasi inisiator lah yang menjadi sandaran organisasi. Konsepsi Liga tidak dapat berjalan dikarenakan organisasi-organisasi inisiator yang membentuk SRMK baru berupa komite-komite aksi hasil advokasi kasus yang belum teruji dan mapan secara organisasional. Harus diakui adanya kelemahan kesimpulan kita pada kongres 2004 lalu atas penilaian terhadap banyaknya organisasi-organisasi kaum miskin kota pada waktu itu.