Senin, 10 Maret 2008

PERJALANAN SRMK

“Bahwa bentuk organisasi dan metode-metode perjuangan akan selalu membutuhkan penyesuaian-penyesuaian atas problematika yang dihadapi rakyat hari ini,

agar kongkrit dalam membaca, menyimpulkan dan memberikan kepemimpinan perjuangan rakyat di HARI INI dan MASA DEPAN.”

I. Kilas balik perjalanan SRMK sebagai LIGA: 2004 – 2007

Kongres pembentukan SRMK 2004 dihadiri 26 organisasi lokal, baik setingkat kota maupun propinsi dan satu organisasi pemuda tingkat nasional. Kongres telah menyetujui dan bersepakat untuk melakukan penyatuan organisasi-organisasi kaum miskin kota. Bentuk penyatuan organisasi tersebut dilandasi adanya kebutuhan sebuah organisasi yang berskala nasional, yang dapat merespon berbagai macam isu, menampung keresahan dan memberikan kepemimpinan politik-organisasi serta memimpin berbagai bentuk perlawanan, khususnya perlawanan kaum miskin kota. Maka, disepakatilah LIGA sebagai jalan keluar bentuk organisasi. Dengan bentuk Liga, diharapkan eksistensi organisasi inisiator maupun organisasi-organisasi yang akan tergabung dapat tetap dipertahankan. Organisasi-organisasi tersebut diberikan hak otonom untuk menjalankan program organisasinya masing-masing dengan tetap menjalankan prinsip-prinsip sentralisme demokrasi.

Dalam perjalanannya ada capaian-capaian politik dalam melakukan respon terhadap berbagai kasus yang dapat dikatakan berhasil, ini dapat dibuktikan banyak kasus penggusuran maupun advokasi kasus lainnya dapat kita pimpinan dan kita menangkan—walau tak mampu menghasilkan pembangunan organisasi sektoral/teritorial dari advokasi kasus tersebut. Bahkan mendorong maju kesadaran ekonomis menjadi tuntutan dan tindakan politik[1]--walau menghasilkan polarisasi di tubuh organisasi inisiator, SRMK tetap mampu memberikan kepemimpinan secara nasional.

Akan tetapi di lapangan organisasi justru berjalan sebaliknya selain gagal membangun organisasi sektoral/teritorial, beberapa organisasi inisiator mengalami kemunduran semisal Gerakan Pemuda Kerakyatan yang mati suri secara politik-organisasi. Semakin diperparah dengan mundurnya beberapa pimpinan SRMK dari struktur kepengurusan DPN SRMK—Sekretaris Jenderal yang sudah tidak aktif sejak pertengahan 2005. Mayoritas organisasi yang terbentuk saat itu adalah komite-komite aksi hasil advokasi kasus. Tak heran, bila dibanyak kota organisasi-organisasi inisiator bubar, dan hanya menyisakan beberapa individu saja. Pengalaman DKI Jakarta, Makassar dan Lampung dalam mengadvokasi kasus penggusuran berhasil membentuk organisasi baru akan tetapi struktur tersebut tidak dapat bertahan lama pasca kasus selesai organisasi tersebut bubar. Hal ini lebih di sebabkan rendahnya tingkat kesadaran massa akan kebutuhan organisasi sebagai wadah perjuangan yang strategis. Dalam banyak kasus, massa masih melihat organisasi hanya sebatas kepentingan sesaat; kepentingan penyelesaian kasusnya.

Akhir 2005 adalah era baru bagi SRMK, perubahan taktik pengorganisasian dari hanya berbasis kasuistik baik lokal maupun sektor, coba diluaskan menjadi pengorganisasian berbasiskan program-program pemerintah. Walau sifatnya kebijakan karitatif (belas kasih) dari rezim. Dengan taktik ini kita berhasil memimpin perjuangan massa dari kesadaran ekonomis ke kesadaran politik. Karena perjuangan menuntut kesejahteraan yang lebih umum ini, memiliki stamina jangka panjang, energi yang lebih besar dan lebih luwes dalam menjalankan gerak organisasinya serta terpimpin secara politik-organisasi jika dibandingkan dengan kasus-kasus lokal/sektor yang mudah dikanalisasi oleh rezim. Perubahan taktik pengorganisasian ini dibarengi perubahan sistematika kerja organisasi, adanya penjadwalan kerja yang sistematis, metode perjuangan radikalisasi terjadwal dalam aksi tiga bulanan serta penguatan disiplin bagi anggota, serta adanya partisipasi anggota dalam kontribusi pendanaan dalam bentuk dana juang.

Arena propaganda semakin lebih luas mencakup seluruh sektor/teritori kaum miskin, bukan hanya dibasis kaum miskin perkotaan tetapi sudah menjalar sampai ke pedesaan. Dengan methode ini sedikit demi sedikit kemenangan-kemenangan kecil dapat kita raih, menjadi basis utama perluasan dan penguatan organisasi saat ini. Kepercayaan massa terhadap organisasi semakin menguat, hal ini bisa dilihat dari penambahan anggota dari waktu kewaktu yang selanjutnya kemudian kita strukturkan dalam struktur basis maupun dalam posko-posko perjuangan rakyat miskin (POPRAM) sehingga tak jarang banyak massa yang mencari posko-posko kita untuk meminta bantuan mengatasi persoalan-persoalan kesejahteraan yang menimpanya. Dari taktik ini juga telah menghasilkan anggota-anggota maju, yang memiliki dedikasi terhadap perjuangan rakyat, memiliki semangat juang yang tinggi dan pengalaman dalam menghadapi realitas politik[2], mereka inilah yang menjadi pelopor dalam menjalankan roda organisasi.

II. Perspektif Pembangunan Organisasi: Menyatukan Sektor dan Teritori Dalam Satu Kepemimpinan

Kini keanggotaan SRMK sudah meluas bukan hanya dibasis kaum miskin di kota-kota besar, akan tetapi juga telah berdiri di kota-kota kecil, di mana secara sektoral tidak bisa dikatakan sebagai kaum miskin kota, karena di banyak kota kecil justru penduduknya mayoritas adalah petani miskin, buruh tani dll. Tentu saja perkembangan organisasi ini adalah satu hal yang positif, dan harus kita sikapi secara benar. Karenanya kita harus memformat ulang bentuk organisasi saat ini agar lebih luas dan fleksibel ditengah kemiskinan rakyat yang tak kenal batas teritori/sektor.

Bila di evaluasi konsepsi Liga tidaklah salah sebagai salah satu bentuk (tahap) pengorganisasian massa. Akan tetapi, ditengah situasi organisasi seperti sekarang[3], masih sangat berat bagi kita (organisasi) untuk membangun sebuah Organisasi Payung. Pola pengorganisasian Liga yang memprioritaskan terbangunnya organisasi-organisasi sektoral/profesi sebagai bentuk perluasan organisasi, pada prakteknya sulit berkembang/meluas. Tidak adanya kesatuan tindakan organisasi menjadi penyebab utama, hal ini terjadi karena alat utama (baca; cara) kita masuk ke massa rakyat dengan berbasiskan isu/kasus sektoral/profesi. Padahal taktik seperti ini lebih mudah dikanalisasikan oleh rezim; sehingga kasus/isunya terlokalisir, terisolir dari realita politik—yang terus bergerak, organisasipun terjebak dalam penyelesaian kasus yang sangat beragam; fragmentatif.

Perubahan konsepsi Liga menjadi Organisasi Massa (Ormas) menjadi tugas kita selanjutnya. Perubahan bentuk organisasi ini, selain dikarenakan persoalan-persoalan politik-organisasi yang telah disampaikan diatas, juga atas pertimbangan taktik perluasan dan penguatan organisasi. Dimana, sejak Presidium Nasional I SRMK Maret 2006 sampai sekarang efektifitas perluasan dan penguatan organisasi diletakkan kepada program-program kesejahteraan yang sifatnya umum serta rekutmen individu sebagai pola pewadahannya menjadi hal yang dominan. Dalam konsepsi Ormas, bukan berarti kita meninggalkan pembangunan organisasi sektoral/profesi. Hanya saja, kerja tersebut tidak menjadi prioritas organisasi saat ini, tidak menjadi kewajiban organisasi seperti selama ini. Kebutuhan akan membangun organisasi sektoral/profesi disesuaikan dengan kebutuhan radikalisasi isu yang terjadi di teritori tersebut. Dalam konsepsi Ormas, kontrol dan kepemimpinan akan lebih terpusat, prinsip-prinsip Sentralisme Demokratik menemukan basis material yang kuat karena pengaturannya langsung antar badan organisasi dan individu. Tidak seperti dalam konsepsi Liga, dimana organisasi-organisasi yang tergabung masih memiliki hak otonom sehingga pada prakteknya logika Sentralisme Demokratik tidak dapat diterapkan secara konsisten. Selain itu, dalam lapangan politik posisi Ormas lebih memiliki kecepatan dalam merespon perkembangan politik yang terus bergerak dibandingkan dalam konsep Liga, dimana organisasi-organisasi memiliki hak otonom yang dapat menyebabkan organisasi menjadi fragmentatif. Sebagai contoh kasus Serikat Pengamen Indonesia (SPI) telah memberikan pelajaran bagi kita, bagaimana keputusan yang telah dibuat badan organisasi yang lebih tinggi dapat dimentahkan dalam pertemuan internal SPI.

Perubahan dari Liga ke Ormas ini, juga harus berbareng dengan perluasan sasaran pengorganisiran, bukan hanya kaum miskin kota, tapi juga kaum miskin di desa-desa harus kita satukan dalam satu wadah organisasi. Memang secara spesifik, kasus-kasus di desa banyak berupa kasus agraria, akan tetapi masalah pokok di desa justru tak jauh berbeda dengan kaum miskin kota, yaitu kesejahteraan umum (kesehatan, pendidikan gratis dll). Maka jangan heran, bila dibeberapa kota kecil, cabang SRMK menamakan dirinya Serikat Rakyat Miskin Desa (SRMD).

Sebagai organisasi yang dirancang untuk bisa fleksibel dalam menghadapi berbagai persoalan rakyat Indonesia, kamipun mengusulkan untuk mengganti nama dari Serikat Rakyat Miskin Kota (SRMK), menjadi Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI). Hal ini didasari kepentingan untuk menyatukan kaum miskin diseluruh pelosok Indonesia dalam satu wadah perjuangan bersama.

III. Bentuk Dan Struktur Organisasi

Pada dasarnya pembangunan organisasi harus di sadari sebagai sebuah jawaban akan problematika yang dihadapi oleh rakyat miskin. Organisasi tersebut harus efektif dalam berbicara dengan massa, mampu menjawab persoalan yang dihadapi massa, mampu mendengar keluhan massa, efektif dalam memperjuangkan program dan strategi taktik secara keseluruhan, efektif dalam pembangunan basis dan perluasan basis, efektif dalam memberikan arahan dan kepemimpinan massa dan efektif dalam melakukan mobilisasi baik mobilisasi menuntut maupun mobilisasi propaganda.

Karenanya pilihan bentuk Ormas adalah pilihan yang tepat untuk situasi saat ini. Bentuk Ormas akan lebih memudahkan bagi penyatuan sektor/teritori karena pewadahan Ormas adalah pewadahan individu, sehingga dapat menghapus sekat-sekat sektoral/profesi yang selama ini menghambat pewadahan bagi kaum miskin di Indonesia. Bentuk organisasi seperti ini di topang dengan struktur organisasi yang simpel, efektif dan dapat dengan leluasa bergerak.



[1] Mulai dari mogok makan anti militerisme sampai menjadi salah satu inisiator pembentukan Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas). Dan dibanyak teritori, anggota-anggota SRMK menjadi pelopor dalam pembangunan Papernas.

[2] Karena kita bukan hanya hidup bersama rakyat dan memahami kesadaran rakyat tetapi juga berhadapan langsung dengan musuh-musuh rakyat; birokrasi korup, aparatus kekerasan negara dll.

[3] Tumpuan berjalannya roda organisasi masih terletak di individu-individu maju, karena dalam konsepsi LIGA, organisasi-organisasi inisiator lah yang menjadi sandaran organisasi. Konsepsi Liga tidak dapat berjalan dikarenakan organisasi-organisasi inisiator yang membentuk SRMK baru berupa komite-komite aksi hasil advokasi kasus yang belum teruji dan mapan secara organisasional. Harus diakui adanya kelemahan kesimpulan kita pada kongres 2004 lalu atas penilaian terhadap banyaknya organisasi-organisasi kaum miskin kota pada waktu itu.

Tidak ada komentar: